ISLAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan Negara dengan
jumlah penduduk Islam yang terbanyak. Keadaan tersebut membuat peranan kaum
muslimin sangat vital bagi kemajuan Negara Indonesia. Umat Islam pernah
mengecap kejayaan dan menjadi bangsa yang terpandang di dunia. Oleh karena itu,
generasi muda Islam harus mampu mewujudkan kembali kejayaan itu.
A. SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI
INDONESIA
Sejak zaman pra sejarah, penduduk
kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi
lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan
perdagangan antara kepaulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia
Tenggara.
Lambat laun penduduk pribumi mulai
memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh adalah yang pertama
sekali menerima agama Islam dan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia
berdiri, yakni Kerajaan Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada
saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam. Adapun peninggalan tertua kaum muslimin yang terdapat di
Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam, salah satunya makam seorang muslimah
yang bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475
H/1082 M.
Pada abad ke-9 H/14 M, penduduk
pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar berpendapat, ini dikarenakan
saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam, seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Pesatnya islamisasi
pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di nusantara seperti Majapahit,
Sriwijaya dan Sunda.
Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai
daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum muslimin dari pusat dunia Islam
menjadi semakin erat. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah demi daerah di nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus. Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada
akhir abad ke-15 M ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat
rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk
kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat
perang Salibpun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah.
Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang
masih menganut Hindu/Budha.
Kedatangan kaum kolonialis di satu
sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin nusantara, namun di sisi
lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Sedangkan pada kaum muslim
kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan
priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa.
Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka
(Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate,
hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus Rangin),
Perang Jawa (Diponegoro), Perang Paderi (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku
Umar).
B. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Babak Pertama, Abad 7 Masehi (Abad
1 Hijriah)
Pada
abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para da’i yang dating ke
Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India
yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina,
dari berbagai arah yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan) dakwah mulai
merambah di pesisir-pesisir nusantara. Begitulah Islam pertama-tama disebarkan
di Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah
pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus
berkembang sampai pada akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh
sampai Ternate dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian Timur yang
wilayahnya sampai ke Irian Jaya.
2. Babak Kedua, Abad 13 Masehi
Di
abad 13 Masehi berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru di
Nusantara. Yang merupakan moment kebangkitan kekuatan politik umat khususnya di
daerah Jawa ketika kerajaan Majapahit berangsur-angsur turun kewibawaannya
karena konflik internal.
Pada abad 13 Masehi ada fenomena
yang disebut dengan Wali Songo, yaitu ulama-ulama yang menyebarkan dakwah di
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sebanyak 9 orang tokoh ulama Islam. Wali
songo mengembangkan atau melakukan proses islamisasinya melalui berbagai cara
dan saluran, antara lain:
a. Perdagangan
b. Pernikahan
c. Pendidikan
(Pesantren)
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga
adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai
Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam.
d. Seni
dan budaya
Wali
Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang
tersebut dengan nilai-nilai Islam. Para wali juga menggubah lagu-lagu
tradisional (daerah) dalam langgam islami, ini berarti nasyid sudah ada di
Indonesia ini sejak zaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan
nilai-nilai Islam.
e. Tasawuf
Tasawuf
pada dasarnya mirip dengan ajaran Hindu, yaitu praktek Islam yang mengedepankan
kehidupan yang sederhana dan banyak mendekatkan diri pada sang khalik. Dengan
keserupaan ini, Islam dengan mudah dapat diterima karena memiliki keserupaan
dengan alam pikiran penduduk pribumi yang sudah memiliki latar belakang agama
nenek moyang mereka.
3. Babak Ketiga, Masa Penjajahan
Belanda
Pada
abad 17 masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke daerah
nusantara yang awalnya hanya berdagang tetapi akhirnya menjajah. Belanda dating
ke Indonesia dengan VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah nusantara dijajah
oleh Hindia Belanda kecuali Aceh. Ketika penjajahan dating, pesantren-pesantren
dijadikan markas perjuangan, santri-santri menjadi jundullah (pasukan Allah SWT) yang siap melawan penjajah, sedangkan
ulamanya menjadi panglima perangnya.
Potensi-potensi tumbuh dan
berkembang di abad 13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah.
Ulama-ulama menggelorakan jihad melawan
penjajah Belanda. Belanda kewalahan yang akhirnya menggunakan beberapa
strategi, antara lain:
a. Politik
devide et impera, yang pada
kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan
adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
b. Mendatangkan
Prof. Dr. Snouck Christian Hurgronje (bergelar Abdul Gafar) seorang Guru Besar
keIndonesiaan di Universiatas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang
pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda
membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhah (khusus) dan dilareang
berbicara atau sampai melakukan politik
praktis.
4. Babak Keempat, Abad 20 Masehi
Awal abad 20 masehi, penjajah
Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi yang sebenarnya
adalah hanya membawa manfaat bagi lapisan masyarakat yang dapat membantu mereka
dalam pemerintahannya di Indonesia.
Strategi perlawanan terhadap
penjajah pada masa ini lebih bersifat organisasi formal daripada dengan
senjata. Berdirilah organisasi Serikat Islam yang merupakan organisasi
pergerakan nasional pertama di Indonesia pada tahun 1905 yang mempunyai anggota
dari kaum rakyat jelata sampai priyayi dan meliputi wilayah yang luas. Tahun
1908 berdirilah Budi Utomo yang masih bersifat kedaerahan yaitu Jawa, karena
itu Serikat Islam dapat disebut organisasi pergerakan nasional pertama daripada
Budi Utomo.
Tokoh Serikat Islam yang terkenal
yaitu HOS Tjokroaminoto yang memimpin organisasi tersebut pada usia 25 tahun. Ia
adalah inspirator utama bagi pergerakan nasional di Indonesia. Serikat Islam di
bawah pimpinannya menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan Belanda.
5. Babak Kelima, Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka,
perkembangan Islam dengan sendirinya mengalami pergeseran, dari proses
islamisasi, perjuangan fisik (jihad)
melawan penjajah, hingga kemudian mengisi kemerdekaan melalui jalur dakwah
kebudayaan, agama, dan politik. Dakwah Islam di Indonesia banyak dikembangkan
oleh institusi-institusi seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulam, Persis, dan
lain-lain.
Pada masa setelah kemerdekaan,
perkembangan Islam sebenarnya tidak tampak karena proses islamisasi nyaris
sudah tidak ada lagi, melainkan diganti dengan istilah dakwah. Bedanya,
Islamisasi adalah proses pengislaman orang-orang non-muslim, sedangkan dakwah
lebih bersifat menpertahankan keyakinan dengan cara memberikan penyuluhan dan
bimbingan agama. Dengan demikian, perkembangan setelah ini lebih bersifat
dinamis karena hamper seluruh kawasan Nusantara telah mengalami proses
islamisasi jauh sebelum kemerdekaan. Namun demikian, sepanjang sejarah Islam
Indonesia selalu ada aktivitas-aktivitas untuk melakukan Islamisasi kembali,
yaitu internasisasi ajaran Islam sebagai bagian dari kegiatan dakwah.
Selain internalisasi Islam,
“Islamisasi” juga bisa berlangsung dalam bentuk “pemurnian Islam” yang
merupakan pengaruh dari perkembangan pemurnian Islam di Timur Tengah. Jadi
pengertian Islamisasi pada ranah ini adalah usaha untuk “mengislamkan” orang
Islam. Maksudnya membersihkan umat Islam dari unsure-unsur keyakinan lama yang
tidak ada kaitannya dan bahkan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam,
berupa bid’ah, khurafat, dan tahayul.pemurnian Islam ini antara lain dilakukan
oleh Muhammadiyah pada mula terbentuknya hingga sekarang.
Di era reformasi, kekuatan-kekuatan
Islam yang baru bermunculan, di luar Muhammadiyah dan NU. Ini disebabkan karena
beberapa hal. Pertama, adanya
kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, yang kemudian dimanfaatkan oleh
sebagian umat Islam untuk mengemukakan dan mendakwahkan paham-paham keislaman
mereka. Kedua, jalur pendidikan Islam
di luar negeri. Dengan adanya jalur pendidikan inilah, maka pengaruh unsure
luar tidak dapat dielakkan. Dari sini lahirlah kelompok-kelompok Islam, seperti
Jama’ah Islamiah, Salafi, dan sebagainya. Ketiga,
krisis ekonomi yang berdampak pada krisis-krisis lain baik di bidang social,
pendidikan, maupun agama.
C. KARAKTERISTIK ISLAM DI INDONESIA
Berdasarkan
cara masuknya Islam di Nusantara terbentuklah pola keislaman yang memiliki
keunikan tertentu, yaitu:
1. Majemuk/ Plural
Kemajemukan merupakan cirri khas
masyarakat Indonesia pada umumnya. Di Indonesia, sebagaimana diketahui,
terdapat enam agama resmi, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, dan Konghuchu. Terlepas dari hubungan antar agama tersebut, keragaman
model-model beragama juga dapat ditemukan di dalam Islam itu sendiri. Seorang
Antropolog Amerika Serikat bernama Clifford Geertz pernah membagi perilaku
keberagaman umat Islam Indonesia ke dalam tiga kelompok, yaitu abangan, santri dan priyai.
Abangan
berasal
dari Bahasa Arab aba’an (ingkar,
tidak taat). Istilah abangan dipakai bagi pemeluk Islam yang tidak begitu
memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban agamanya. Meskipun mereka mengaku dirinya sebagai orang
muslim, mereka merupakan perpaduan unsure-unsur Islam, Hindu-Budha, dan
unsure-unsur asli. Jadi coraknya singkretis (campuran)
Santri
merupakan
penganut Islam yang taat. Istilah santri digunakan oleh Geertz untuk merujuk
kepada siapa saja yang menjalankan Islam dengan benar.
Priyai
adalah kelompok ketiga penganut Islam, yang menurut Geertz adalah kelompok
Islam kelas elit. Biasanya adalah mereka yang disebut sebagai muslim birokrat
atau muslim berdasi.
Pada umumnya umat Islam Indonesia
mengikuti faham Asy’ariyah dari segi teologi (faham keagamaan), Imam Syafi’I
(dan termasuk Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan Imam Hanafi) untuk masalah
fiqih, serta Imam Ghazali untuk masalah tasawuf. Gabungan dari semua ajaran
ini, menjadikan umat Islam Indonesia sebagai penganut kuat ajaran Islam Ahlussunah wal-Jama’ah (Sunni).
2. Toleran
Toleransi adalah salah satu semangat
dari Islam Indonesia. Semangat ini tumbuh seiring dengan “perkawinan” antar
budaya Islam dan budaya local. Sehingga corak singkretisme (campuran faham)
tidak bisa dihindarkan. Sifat toleransi Muslim Indonesia muncul karena bangsa
Indonesia disatukan dalam rumpun budaya.
3. Moderat
Moderat dalam hal ini dimaksudkan
untuk menggambarkan kehidupan keagamaan yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrim
dan tidak pula liberal. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, umat
Islam adalah mayoritas di negeri ini, ini berarti bahwa religiusitas bangsa
Indonesia adalah cerminan religiusitas umat Islam itu sendiri.
4. “Singkretik”
Singkretisme juga bisa dikatakan
merupakan akibat dari akulturasi Islam dan budaya local. Makna “singkretik”
disini tidak harus dipahami secara negatif. Tetapi yang dimaksud adalah adanya
campuran unsur Islam dan budaya local yang tidak bertentangan dengan semangat
fundamental Islam itu sendiri.
D.
PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG ADIL DAN MAKMUR
Islam adalah agama rahmatan lil-alamin. Salah satu tujuan
utama dari diturunkannya Islam adalah agar tercipta sebuah tatanan masyarakat
yang adil dan makmur. Untuk itulah, dimanapun Islam tumbuh dan berkembang,
ukuran keberhasilannya adalah sejauh mana ia mampu menjamin terciptanya
keadilan dan kemakmuran bagi pemeluknya maupun bagi semua umat manusia.
1.
Di Bidang Politik Dan Ekonomi
Semenjak
abad ke-16 sampai abad ke-20 umat Islam di bawah para pimpinannya menghadapi
berbagai corak tantangan kekuasaan Barat dan mengadakan perlawanan bagi setiap
fase penjajahan, misalnya pada:
a. Fase persaingan dagang. Kerajaan
Islam Demak melawan Portugal di Malaka (1512); Sultan Khairuddin dan Sultan
Babullah melawan Portugal di Ternate; Tidore melawan Spanyol; Aceh melawan
Portugal di Malaka; dan Sultan Hasanuddin dari Gowa dan Tallo melawan VOC.
b. Fase penetrasi dan agresi.
Sultan Agung (Mataram) menyerbu Batavia (1627 & 1629); Sultan Agung
Tirtayasa dengan dukungan Syekh Yusuf (Makassar) melawan penetrasi VOC ke
Banten (1680); Kesultanan Aceh melawan Agresi Hindia Belanda (1873) yang
merupakan awal dari perjuangan Aceh yang terus-menerus terhadap Belanda.
c. Fase perluasan daerah jajahan.
Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830); Perang Paderi di Sumatera (1821-1837);
dan Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari, dan lain-lain.
d. Fase penindasan.
Para petani di bawah bimbingan para ulama melakukan pemberontakan yang dikenal
dengan “Geger Cilegon” (1886), pemberontakan H. Mustofa dan pemberontakan yang
dipelopori petani. Baik di Jawa, Sumatera, dan daerah-daerah lainnya, peran
ulama selalu menonjol.
Ajaran
Islam untuk cinta tanah air (hub al
wathan minal iman) mendorong segenap penduduk Nusantara untuk memberontak
melawan penjajah. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin Islam yang demikian besar
yang menentukan arah pergerakan di Indonesia. Sejak itu peran umat Islam dalam
dunia politik semakin jelas. Dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) para ulama dan pemimpin Islam berperan aktif dalam menyusun dasar
kehidupan Negara, dan ikut serta merumuskan UUD 1945.
2. Di Bidang Agama Dan Sosial
Agama dan sosial adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan. Ini disebabkan karena sejak kedatangannya di Nusantara,
Islam telah berpadu dengan masyarakat yang kemudian membentuk sebuah masyarakat
Muslim Indonesia.
Sebagai bangsa yang religious dan
berketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap agama,
terutama agama Islam yang penganutnya adalah mayoritas. Perhatian tersebut
diwujudkan dalam pembinaan kehidupan beragama, antara lain:
a. Mendirikan
Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1945, suatu departemen yang merealisasi
sila pertama dari Pancasila, dan sekaligus merupakan cirri khas Islam di
Indonesia.
b. Menetapkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 197 tentang Perkawinan.
c. Menyelenggarakan
pengurusan ibadah haji dari tanah air.
d. Membentuk
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 dengan struktur organisasi yang
menyebar sampai ke tingkat desa.
e. Melembagakan
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) secara nasional dari tingkat pusat sampai
tingkat desa, mendirikan dan meresmikan masjid Istiqlal sebagai masjid yang
sepenpuhnya dibiayai pemerintah/Negara, membentuk Badan Amil Zakat, dan
sebagainya.
f. Ikut
membina kerukunan hidup umat beragama baik intern umat beragama serta antar
umat beragama, baik antar umat beragama dan pemerintah, dan
g. Memberlakukan
secara yuridis-formal sebagian hokum Islam, yaitu penyelenggaraan Peradilan
Islam di Indonesia, dengan undang-undang pada tahun 1989, dan memberlakukan
syari’at Islam di Nangro Aceh Darussalam (NAD).
3. Di Bidang Pendidikan Dan Kebudayaan
Di bidang pendidikan dan kebudayaan,
peran Islam sangatlah besar. Sejak Islamisasi negeri ini telah berdiri
lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah menjadi
benteng Islam yang demikian kuat dan berpengaruh. Kemudian menyusul system
madrasah yang merupakan usaha pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam tanpa
menghilangkan sistem pesantrennya. Pemerintah telah mendirikan madrasah
(sekolah-sekolah agama Islam) dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi.
Dalam bidang kebudayaan di
Indonesia, Islam mempunyai peranan penting, antara lain di bidang:
a. Arsitektur, khususnya
pada bangunan masjid sebagai tempat ibadah yang merupakan pusat agama Islam
yang berpengaruh besar terhadap kehidupan penduduk secara keseluruhan.
b. Hidup rohani, paham
sufismi atau mistik yang tumbuh pada hidup rohani orang Indonesia sejak awal
masuknya Islam di Indonesia, seperti Kadiriah, Khalwatiah, Naksyabandiah, dan
sebagainya.
c. Hari-hari besar Islam, perayaannya
dilaksanakan baik oleh Negara maupun masyarakat dari tingkat pusat sampai ke
kampong-kampung seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj,
Nuzulul Qur’an, Shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan lain-lain.
d. Seni kaligrafi, yang
berkembang sebagai dekorasi, catatan sejarah dan symbol keislaman di seluruh
lapisan masyarakat Muslim Indonesia.
e. Bahasa Indonesia, yang
menyerap sebagian bahasa Al-Qur’an (Arab) ke dalam bahasa Melayu menjadi bahasa
nasional Indonesia sehingga bahasa Arab itu terabadikan dalam bahasa Indonesia.
E. ISLAM DAN PANCASILA SEBAGAI
DASAR NEGARA
Akhir-akhir ini muncul kekhawatiran
di tengah-tengah umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, mulai
pudarnya nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah anak bangsa, ini dapat dilihat
dalam beberapa gambaran, seperti munculnya radikalisme di tengah-tengah
masyarakat, ide pendirian Negara Islam Indonesia dan lain-lain, atau dalam
bahasa Menteri Pendidikan Nasional RI, Prof. Dr. M. Nuh, bahwa ada semangat
yang mulai sudah tidak menerima lagi Pancasila sebagai dasar dan ideologi
Negara seutuhnya.
Pasca tumbangnya Orde
Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan
kebebasan di segala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa
kelompok Islam yang konservatif dan atau radikal. Mereka sekarang bebas untuk
secara lantang dan nyaring dan bahkan secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan
(kembali) kepentingan politis dan ideologis mereka. Ironisnya, perjuangan itu
bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, meski
melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan ,dan cita-cita yang dikembangkan
dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah,
pendirian Negara Islam, pelaksanaan syari’at Islam dan sebagainya. Apalagi,
tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis
multidimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi
tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah
gagal membawa Negara ini ke arah yang lebih baik.
Upaya-upaya tersebut sudah mulai
terasa, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, hal ini sebenarnya
telah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling fundamental/asasi dari Negara
ini, dan itu artinya mereka sedang dan akan menggerogoti empat Pilar Bangsa,
yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ada dua aliran yang muncul yakni
golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam dan
golongan nasionalis yang menginginkan pemisahan urusan Negara dan urusan Islam.
Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam karena
melihat kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk
mencapai kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk m,enjadikan
Indonesia sebagai Negara Islam akan secara tidak adil memposisikan penganut
agama lain sebagai warga Negara kelas dua.
Sampai saat ini, kekuatan-kekuatan politik dan sosial kemasyarakatan umat Islam
Indonesia sampai pada kesimpulan menerima Pncasila dan pilar bangsa yang lain
sebagai peneriamaan yang final. Sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan
menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari
segala segi pertimbangan.
Perjalanan sejarah telah membuktikan
bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar Negara bukan main sulit
perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari
titik temu tentang ideology yang disepakati bersama. Pancasila tidak hanya
menonjolkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada
kebebasan individu dan menarik peran Negara untuk mengaturnya, tetapi juga
meletakkan bingkai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ketawhidan
dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan tentu saja nilai-nilai dasar
Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan dibenarkan dalam ajaran
Islam yang rahmatan lil-alamin (rahmat seluruh alam), dan bukan rahmatan
lil-muslimin (rahmat kaum muslim saja) yang eksklusif, atau bahkan cuma
rahmatan lil-madzhabiyyin (rahmat pengikut madzhab tertentu dalam Islam) yang
lebih eksklusif lagi. Islam di Indonesia pada umumnya berada di jalan tengah (mutawassith), tidak mendukung
radikalisme dan tidak pula setuju dengan liberalisme. Islam inilah yang sering
digambarkan sebagai Islam moderat, Islam yang Insya Allah menjadi harapan dan
cita-cita semua bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar